Thursday, October 05, 2006

Peran Gereja Terhadap Sekolah

PENDAHULUAN

Dalam sejarah gereja secara umum, kehadiran sekolah-sekolah Kristen ditandai kaitan erat dengan kehadiran gereja. Di mana saja terdapat sekolah Kristen, di situ ada gereja. Semangat gereja untuk mendirikan sekolah sebagai bentuk pengejahwantaan pelayanan pengajaran yang diteladani dari Tuhan Yesus Kristus dan pengabdian kepada masyarakat memang merupakan bagian dari jiwa dan semangat Methodist yang diwariskan dari John Wesley, pendiri gerakan Methodist. Pada tahun 1740, George Whitefield mendirikan sebuah sekolah di Kingswood yang kemudian langsung dikelola John Wesley dan menempatkan John Cennick sebagai gurunya.
Sekolah ini berkembang sejajar dengan perkembangan jemaat. Tujuan pendirian sekolah bukan hanya bertujuan membentuk manusia berilmu tetapi juga membentuk manusia beriman. Sebab itu dalam segala kegiatan pelayanan John Wesley, yang kemudian diwarisi Gereja Methodist mempersatukan tiga kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Kegiatan tersebut adalah Penginjilan, Organisasi/ Administrasi dan Pendidikan. Baru kemudian timbul kegiatan keempat yaitu bidang Kesehatan. Dengan demikian sekolah merupakan bagian integral dari Gereja Methodist. John Wesley menyadari bahwa hubungan pemberitaan firman dengan pendidikan sangat erat sehingga dapat dikatakan bahwa Kekristenan adalah ibu atau sumber Pendidikan (Christianity is the mother of Education). Oleh sebab itu pendidikan merupakan bagian integral dan menjadi pokok tradisi Methodist sehingga menjadi perhatian yang sungguh-sungguh untuk pembukaan sekolah dalam kehidupan bangsa.

John Wesley mengatakan dalam suatu Konferensi agar semua pengkhotbah berusaha memajukan sekolah. Setiap pengkhotbah, guru Injil dan pendeta yang tidak mau mengkhotbahkan dan memajukan pendidikan, ia tidak layak disebut sebagai pengkhotbah Methodist. Teologia Wesley sendiri dibangun di atas empat dasar, yakni: Alkitab (scripture), pengalaman (experience), akal (reason), tradisi (tradition); di mana akal mendapat tempat yang sentral dalam teologia Methodist, karena itulah gerakan Methodist di seluruh dunia terpanggil untuk melayani dunia pendidikan. Melalui gerakan Methodist inilah sekolah demi sekolah terus didirikan, termasuk juga Perguruan Kristen Methodist Indonesia (PKMI-2) Palembang yang dikelola oleh GMI Bethlehem Palembang ini. Dalam buku sejarah yang telah ditulis oleh Bapak Matius Tjandra ini, secara khusus kita melihat bagaimana peran dan upaya gereja dalam mendirikan dan memajukan PKMI-2 Palembang. PKMI-2 Palembang ini dimulai sejak tahun 1952 melalui GMI Bethlehem yang kala itu dikenal sebagai Gereja Methodist Berbahasa Tionghoa di bawah kepemimpinan Pdt. Tan Peng Koen yang mendirikan sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Dan selanjutnya secara berturut-turut didirikan SR/Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) pada tahun 1958 oleh Pdt. Yap Tian Pheng dan SMP pada tahun 1974 dan pada tahun 1979 didirikan SMA, keduanya di bawah Gembala Sidang Pdt. Cen Sau Chi.

KEDUDUKAN SEKOLAH KRISTEN

Sekolah Kristen merupakan bagian dari pendidikan Kristen, dan harus dipahami sebagai “sekolah” di mana di dalamnya terdapat kegiatan belajar-mengajar, kurikulum, administrasi, interaksi dan komunikasi, tata tertib serta disiplin. Namun dengan sebutan “Kristen “ maka sekolah tersebut tentu harus mempunyai “nafas” atau “identitas ciri khas” yang landasannya adalah iman Kristen. Sekolah Kristen tidak lebih baik, lebih kecil, lebih besar atau lebih akademis dari sekolah negeri (sekuler). Pada dasarnya sekolah Kristen itu berbeda karena mempunyai tujuan dan fokus yang berbeda dari sekolah-sekolah sekuler tandingannya. Sekolah Kristen berangkat dari keyakinan bahwa Allah itu hadir dan berbicara melalui firmanNya, Alkitab yang merupakan pusat kehidupan. Sebaliknya sekolah sekuler berangkat dengan dasar-dasar pemikiran yang berbeda; di mana kehadiranNya tidak relevan, bahwa Injil hanyalah kata-kata manusia, dan bahwa Allah seharusnya tidak dilibatkan dalam proses pendidikan. Dengan titik awal yang sangat berbeda ini, tidak mengherankan jika sekolah Kristen seharusnya akan sangat berbeda dengan sekolah-sekolah sekuler. Oleh sebab itu, umumnya kita dapat menjumpai dasar berangkatnya penyelenggaraan sekolah Kristen ini dapat kita jumpai melalui “pernyataan misi, visi, strategi dan nilai” yang dianut oleh sekolah-sekolah Kristen. Sistem pendidikan, strategi pelayanan, metode-metode pengajaran boleh berubah mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi panggilan, misi-visi dan identitas “Kristen” tidak boleh berubah dalam penyeleng-garaan sekolah “Kristen”. Dan puji Tuhan jika sampai saat ini identitas dan ciri khas pendidikan Kristen di Indonesia masih dijamin oleh UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UU SPN No. 20 Tahun 2003, antara lain dalam pasal 12 ayat 1 tentang hak peserta didik dan pasal 55 ayat 1 tentang “kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dijamin oleh undang-undang ini.” Oleh sebab itu mari kita bangun sekolah kita dengan nilai-nilai kristiani.

SUMBANGSIH GEREJA BAGI SEKOLAH KRISTEN

Tidak dapat diabaikan bahwa sekolah Kristen hadir sebagai perwujudan dari misi gereja, yang tidak lain adalah untuk memuliakan Allah melalui dunia pendidikan. Sekolah Kristen tentu tidak berdiri sendiri dalam mengemban tugas dan panggilannya. Sekolah sendiri sebenarnya adalah perluasan tanggung jawab dari keluarga dan gereja di dalam pendidikan. Oleh sebab itu selama melayani di PKMI-2 Palembang, kami mengamati beberapa sumbangsih yang sebenarnya dapat diberikan gereja terhadap sekolah adalah:


1. Gereja seharusnya menjadi sumber dari “misi-visi-strategi-nilai” dari sekolah Kristen agar tidak menyimpang dari tujuannya.
2. Gereja harus menumbuhkan rasa kepemilikan jemaat atas sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja setempat. Jemaat dapat berperan memberikan masukan dan koreksi kepada anggota pengurus sekolah / KPP (Komisi Penyantun Perguruan).
3. Gereja harus dapat memainkan perannya dalam menggenapi Amanat Agung Kristus melalui lingkungan sekolah dengan keterlibatan aktif dalam kegiatan-kegiatan pembinaan rohani di lingkungan sekolah.
4. Gereja harus mempersiapkan hamba-hamba Tuhan yang mampu melayani di dunia pendidikan, baik sebagai guru agama, konselor, chaplin, dan pimpinan perguruan serta sebagai anggota pengurus sekolah.
5. Gereja harus mendorong jemaatnya untuk menyadari pentingnya profesi guru dan pelayanan sebagai anggota pengurus sekolah / KPP. Misalnya gereja dapat menyediakan beasiswa bagi mereka yang studi di bidang pendidikan untuk menjadi guru, atau bagi guru-guru untuk meningkatkan kualitas mereka.
6. Gereja harus mendorong jemaatnya untuk dapat bersekolah di sekolah tersebut. Jangan sampai ada yang tidak dapat bersekolah di sekolah tersebut karena tidak ada uang! Bagi orangtua yang mampu harus ditanamkan sikap mental untuk tidak meminta pengurangan uang sekolah; sebaliknya bagi yang kurang mampu harus ada upaya gereja untuk membantu.
7. Gereja harus mendukung sekolah secara finansial dan bukannya sekolah sebagai sumber finansial gereja! Pendidikan bukan semata-mata lahan untuk mencari dan mengeruk keuntungan. Gereja perlu menanamkan filosofi pelayanan kepada para pengurus sekolah untuk tidak mencari keuntungan pribadi melalui kegiatan sekolah. Seringkali ketika pengurus sekolah menjadi sangat independen, maka seringkali kebijaksanaan akan diambil tanpa keterkaitan dengan gereja, maka peluang peyimpangan akan sangat besar terjadi.

Setiap kita dapat berperan dalam dunia pendidikan, terutama melalui PKMI-2 Palembang yang telah Tuhan hadirkan di tengah-tengah jemaat GMI Bethlehem Palembang. Ketika kita merayakan HUT Ke-66 gereja kita, sekolah kita sudah mencapai usia 54 tahun – bukanlah usia yang muda! Sudahkah Anda terlibat?

Oleh: Pdt. Sadikin Gunawan
artikel ini ditulis dalam rangka Perayaan HUT ke-66 GMI Bethlehem.
penulis adalah Pimpinan PKMI-2 Palembang Periode 2001-2005, saat ini melayani sebagai penulis di Renungan Harian Manna Sorgawi dan assiten gembala di GMI Sion Jakarta.


1 comment:

Anonymous said...

Yang saya coba uraikan di sini adalah peranan gereja, bukan Sekolah, dalam pembinaan SDM Kristen. Pertanyaan logis selanjutnya adalah apakah peran yang sudah dimainkan gereja dalam mempersiapkan SDM Kristen yang handal? Seorang pengarang Kristen mengkritik bahwa gereja terlalu banyak menekankan aspek "pengetahuan" (wawasan teologis, bukan non-teologis) sehingga kedua aspek lain, "karakter" dan apalagi, "kemampuan" kurang mendapat perhatian. Tekanan pada pengetahuan rohani ini memang esensial, tetapi tidak cukup. Agar dapat melahirkan seorang pribadi Kristen yang cakap dan mampu berkarya di pos-pos penting, seperti yang ditulis dalam Amsal 22:29, diperlukan aspek-aspek lain seperti karakter (rela berkorban, tekun,setia, disiplin sebagaimana seorang prajurit, atlit, dan petani), kemampuan (berorganisasi, kepemimpinan, team-work, membuat keputusan, dst...), serta wawasan non-teologis (ipoleksosbudhuk). Yang terakhir ini penting untuk menolong umat dalam pengaplikasian iman dan "teologia" yang dipelajarinya dalam kehidupan riil. Wawasan non-teologis inilah yang akan menghindarkan terjadinya shock-shock yang tidak perlu (shock ini biasanya terjadi tatkala seorang Kristen dengan pengertian teologinya berhadapan dengan situasi yang pelik dan dilematis yang seringkali memaksa dia untuk mengkompromikan imannya) dan membekali umat untuk semakin mandiri.