Thursday, March 22, 2007

Banjir 2: Banjir Jakarta & Air Bah Nuh

Kejadian 7:1-24; 2 Petrus 3:3-7, 17-18

Banjir yang melanda 12 propinsi di Indonesia awal Februari 2007 yang lalu, juga melumpuh-kan ibukota Jakarta. Banjir melanda 70% wilayah Jakarta. Ketinggian air hingga mencapai 3 meter; korban meninggal sebanyak 98 jiwa; jumlah pengungsi 316.825; 2.104 gardu listrik padam; 66% pelanggan PAM tidak dapat dilayani; 40% SD libur; 40% PNS bolos; jalan rusak mencapai 82.150 m2; kerugian ditaksir sebesar 12 triliun. Ibukota Jakarta lumpuh! Bencana banjir ini mengingatkan saya pada kisah air bah pada zaman Nuh. Ada tiga hal yang dapat dipelajari dari banjir Jakarta dan banjir (air bah Nuh) ini.

Pertama, ada peringatan. Kebanyakan dari korban banjir mengatakan, “Saya nggak nyangka banjir segini gede,” atau yang lain berkata, “Saya kira tidak separah banjir tahun 2002 dulu.” Dari peristiwa banjir di atas, kita belajar arti sebenarnya dari kata “waspada”. Menurut kamus kata was-pada berarti “berhati-hati dan berjaga-jaga” atau “bersiap siaga”. Kebanyakan kita mengartikannya dalam artian yang pasif, hanya menunggu, melihat dan mengharapkan yang baik akan segera terjadi. Tetapi arti yang sebenarnya dari waspada adalah mempersiapkan diri sedemikian rupa agar kita tidak mengalami hal-hal yang buruk. Mempersiapkan diri termasuk mempelajari dan meng-amati apa yang terjadi di sekitar kita, selain menata ulang tinggi rumah, pompa air dan stop kontak ditinggikan, menyediakan lilin atau genset, dll.

Jadi Banjir Jakarta seharusnya tidak boleh mengagetkan kita, karena sudah diberitahu 1-2 tahun sebelumnya oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan berbagai media massa. Kita bukan tidak mengetahui, tetapi kita tidak peduli! Kita sibuk dengan aktivitas hidup kita. Jikalau kita mem-perhatikan, minimal kita sudah siap sedia; memindahkan barang yang akan kena banjir, menyediakan lilin, atau bahkan segera pindah ke rumah saudara atau tetangga yang tidak kena banjir. Peristiwa banjir pertama (air bah) pada zaman Nuh juga sudah ada peringatan, bah-kan jauh sebelumnya! Tuhan memberi waktu 120 tahun sebelum menjatuhkan hukuman (Kej 6:3). Usia Nuh pada saat air bah datang diperkirakan 400 tahun (dibulatkan 500 th – Kej 5:32) dan pada saat air bah datang adalah 600 tahun (Kej 7:11). Jadi, inilah tindakan Allah, memberi waktu 120 tahun untuk bertobat! Tidak ada seorangpun yang dapat berkata, “Saya tidak tahu akan ada air bah!” Mereka pun menyaksikan pawai binatang yang memasuki bahtera (Kej 7:7-8) dan binatang-binatang itu sudah tinggal dalam bahtera selama 7 hari sebelum turun hujan lebat (Kej 7:10). Tentu saja, peragaan ini sangat memperkuat berita yang disampaikan Nuh sang “pemberita kebenaran” (2 Ptr 2:5). Akan tetapi mereka tetap mengabaikannya! Mentaati peringatan banjir tentu akan menyelamatkan hidup dan harta milik Anda di dunia ini; memperhatikan peringatan Allah akan menyelamatkan jiwa Anda sampai ke Sorga! Persiapkan diri Anda untuk bertemu denganNya! Segeralah bertobat dan berpaling padaNya.

Kedua, perlu kesabaran dan kerja sama. Kita perlu belajar bersabar, meskipun banyak ketidaknyamanan yang dialami, baik yang mengungsi ataupun yang tetap bertahan di rumah! Banjir Jakarta menyebabkan 320.000 orang mengungsi di berbagai posko pengungsian. Jika sebuah posko yang dihuni oleh beberapa ratus orang saja sudah tidak nyaman, bagaimana situasi Nuh dalam bahtera? Pasti lebih tidak nyaman lagi! Meskipun hanya ada 8 orang, tetapi mereka harus tidur bersama sekitar 35.000 ekor binatang. Bukan itu saja, menurut perhitungan Nuh harus tinggal bersama-sama binatang ini selama 371 hari (Kej 7:12; 24; 8:3; 13-14). Kesabaran dan ketaatan Nuh kepada Tuhan; serta kerjasama yang baik dengan semua anggota keluargaya, akhirnya membawanya beserta keluarga selamat. Kesulitan apapun yang Anda alami, tetaplah sabar dan berharap padaNya yang selalu memberi kekuatan dan jangan lupa tetap harus berusaha! Nuh tidak tinggal diam, tetapi ia berusah keras selama 120 tahun!

Kebersamaan Warga Pluit. Kawasan elite di Kelurahan Pluit mencetak prestasi gemilang sebagai wilayah yang berada 1 meter di bawah permukaan laut namun bebas dari banjir. Saat 70% wilayah Jakarta dilanda banjir besar, Kelurahan Pluit bebas banjir. Padahal sejak 1976 hingga 2002 kawasan Pluit adalah langganan banjir yang dapat mencapai ketinggian hingga 2 meter dan bisa merendam daerah itu selama berhari-hari. Lalu apa raha-sia sukses Kelurahan Pluit? Jawabannya adalah kepedulian yang berwujud nyata di dalam kebersamaan atau gotong royong. Di Kelurahan Pluit ada 19 RW dan setiap RW mengumpulkan 1 miliar rupiah yang ditanggung bersama-sama oleh seluruh warganya. Dana yang berjumlah 19 miliar rupiah itu digunakan untuk membuat tanggul yang menahan air agar tidak masuk ke daerah tersebut, dan selebihnya digunakan untuk membeli ratusan pompa air serta untuk biaya operasional. Tanggul yang dibangun juga tidak tanggung-tanggung, panjangnya 1 kilometer dengan lebar 10-an meter dan ketinggiannya 3 meter di atas permukaan Sungai Muara. Dibangun juga 2 pos instalasi pompa air di Jalan Pluit Barat Raya dan Jalan Pluit Permai. Ketika banjir mulai melanda Jakarta hari Kamis tanggal 1 Februari 2007 yang lalu, ratusan mesin pompa itu bergerak serentak menderu-deru membuang air ke sungai yang mengalirkannya ke laut. Satu prestasi yang perlu diacungin jempol! Bukan hanya sekedar bicara besar, namun bertindak besar dengan hasil yang nyata. Ini sebuah contoh yang seharusnya membuka mata Pemda DKI Jakarta dan daerah-daerah lainnya yang biasa menjadi langganan banjir. Warga Kelurahan Pluit telah memenuhi salah satu hukum Kristus, yaitu bertolong-tolongan menanggung beban bersama. Ayat ini bukan mengajar kita untuk cepat minta bantuan ke sana ke mari, tetapi ayat ini mengajak kita untuk membuka diri dan hati agar rela bergandeng tangan bersama-sama saling bahu membahu menyelesaikan masalah yang ada. Jika prinsip yang sama kita terapkan di dalam keluarga kita masing-masing, gereja kita, perusahaan kita, kelompok sel kita, maka masalah apa pun yang ada di dalam keluarga kita, gereja kita, perusahaan kita, kelompok sel kita, pasti dapat diselesaikan dengan baik. Kalau satu kelurahan bisa bersatu, apalagi satu keluarga atau satu gereja atau satu perusahaan atau satu kelompok sel yang jumlahnya jauh lebih kecil!

Ketiga, ingat janji Allah. Walaupun sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit, banjir Jakarta ini bukanlah penghukuman Allah kepada manusia seperti zaman Nuh. Allah berjanji bahwa pemusnahan total melalui banjir tidak akan terulang lagi (Kej 9:15). Tetapi ini tidak berarti bahwa Allah tidak akan menghukum manusia yang berdosa. Bumi akan dihukum atas kesesatannya bukan dengan air melainkan dengan api, “Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya.” (2 Ptr 12).!
Allah memang tidak akan menghukum kita dengan air bah lagi, tetapi dari peristiwa banjir kita dapat ingat janji Tuhan – bukan hanya tidak akan memusnahkan bumi dengan air bah, tetapi ia juga akan menghakimi kehidupan kita di bumi ini. Pengalaman banjir yang lalu menyisakan satu pelajaran yang penting, yaitu orang-orang menilai nyawanya jauh lebih berharga dan lebih penting daripada semua harta benda yang telah diperolehnya.

Banyak orang yang meninggalkan begitu saja rumahnya dengan barang-barang seperti kasur, kulkas, lemari, meja, dlsb. yang mengapung-apung di dalam rumah. Di garasi ada mobil yang dibiarkan terendam air. Bahkan di jalan-jalan raya, mobil diparkir malang melintang, bahkan ada beberapa yang terangkat naik ke trotoar, entah karena terbawa arus air atau karena tertabrak mobil yang lain. Orang-orang berusaha untuk menyelamatkan diri secepatnya. Mari kita juga belajar untuk memikirkan keselamatan jiwa kita dikekekalan nanti.

Pilihan di alam baka hanya ada dua: Sorga atau Neraka! Di dunia ini kita dapat memilih untuk menyelamatkan nyawa kita dan rela kehilangan harta benda yang dapat kita cari lagi, tetapi di alam baka sungguh hal itu tidak akan dapat kita cari atau rubah lagi. Jika kita terhilang, maka kita akan terhilang selamanya. Tidak ada kesempatan yang kedua! Oleh karena itu, Saudara-saudaraku yang terkasih di dalam Tuhan Yesus, mari kita menata hidup kita sedemikian rupa agar jangan kita terhilang dari hadapan Tuhan. Putuskanlah saat ini untuk memilih Sorga dan bukan Neraka! Putuskanlah saat ini untuk hidup dalam kebenaran dan bukan dalam kefasikan. Putuskanlah saat ini untuk hidup senantiasa berkenan kepada Tuhan!

• Sumber: Renungan Manna Sorgawi Juni 2007